Mengapa Teroris Segelintir

Dunia terlihat lebih aman dari terorisme, termasuk di Indonesia. Sepuluh tahun setelah 9/11/2001 yang menjadi salah satu tahap terpenting terorisme, kini terdapat kecenderungan menyurutnya terorisme. Ini terjadi bukan hanya karena tewas atau ditangkapnya sebagian besar pimpinan dan anggota kelompok teroris di berbagai penjuru dunia, tetapi juga sebab pengamanan dan sekuriti ketat yang kini mapan, antara lain, di bandara dan bangunan umum. Meski demikian, jelas sel-sel terorisme masih terdapat di mana-mana, bergerak di bawah tanah, juga di Indonesia. Dan, sel-sel itu bisa dipastikan terus berusaha merekrut anak-anak muda untuk menjadi apa yang mereka sebut sebagai 'pengantin', atau bahkan 'syahid' atau 'martir' dengan meledakkan diri mereka sendiri dan orang-orang yang di sekitar mereka. Dalam konteks itu, menarik membaca buku karya Charles Kurzman, The Missing Martyrs: Why There Are So Few Muslim Terrorists (Oxford: OUP, 2011). Kurzman mencoba menjelaskan alasan teroris Muslim hanya segelintir dan menimbulkan korban jiwa jauh lebih sedikit dibandingkan teroris-teroris lain. Atau, dengan jumlah korban tewas yang lebih 'sedikit' dibanding dengan korban nyawa berbagai bentuk terorisme dan kekerasan lain di banyak tempat di muka bumi. Tetapi, sebelum menjelaskan argumen Kurzman menjawab pertanyaan itu, jelas ia-dan kita semua-tidak berharap bertambahnya jumlah teroris Muslim. Sebaliknya, ia ingin menunjukkan kegagalan terorisme atas nama Islam dengan para pelaku Muslim, yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda sejak dari New York, Virginia di AS, Denpasar, Jakarta, London, Madrid, dan sejumlah tempat lain. Mengapa teroris Muslim begitu segelintir? Menurut Kurzman, hal ini berkaitan dengan kegagalan kelompok dan sel teroris merekrut anak muda revolusioner Muslim dalam jumlah signifikan. Meski upaya rekrutmen dilakukan melalui berbagai media, seperti kelompok pengajian, lewat dunia maya, dan melalui tatap muka intensif, tidak banyak yang berhasil terekrut. Jaringan teroris Muslim global berhasil merekrut hanya kurang dari satu orang dari setiap 15 ribu Muslim dalam waktu seperempat abad terakhir, dan kurang dari satu orang dalam 100 ribu Muslim sejak peristiwa 11 September 2001. Meski angka ini sangat kecil, perlu tetap wanti-wanti karena satu atau dua teroris saja sudah terlalu banyak. Apalagi, dampak luar biasa yang bisa ditimbulkan satu atau dua orang tersebut terhadap kehidupan publik dan agama secara keseluruhan. Karena kesulitan dan kegagalan dalam rekrutmen, terjadilah apa yang disebut Kurzman sebagai 'bottleneck', sumbatan di leher botol, bagi tersedianya calon-calon 'pengantin' yang membawa bom dan meledakkan dirinya di sasaran-sasaran tertentu. Memang organisasi dan kelompok teroris sering mengklaim memiliki daftar panjang sukarelawan yang siap meledakkan diri mereka, tetapi dalam kenyataannya, kian sedikit jumlah mereka yang kemudian benar-benar melakukan bom bunuh diri. Lebih jauh lagi, sejak 9/11 yang diikuti berbagai peristiwa bom bunuh diri yang menghasilkan banyak tekanan dari hampir seluruh kekuatan negara dan pemerintahan kepada kelompok-kelompok teroris, jumlah pelatihan bagi kader teroris jauh berkurang. Selama lima tahun pemerintahan Taliban di Afghanistan, misalnya, diketahui terdapat sekitar 10 ribu sampai 20 ribu calon-calon pengebom mengikuti latihan militer dan teror. Tetapi, setelah 9/11 jumlah pelatihan berkurang sampai 90 persen. Tindakan terorisme banyak dilakukan para rekrutan masa Taliban. Di tengah penurunan itu, banyak rekrutan yang melakukan kekerasan dan berniat meledakkan bom bunuh diri tidak kompeten sama sekali. Banyak mereka yang gagal melakukan bom bunuh diri karena tercium aparat keamanan lebih dulu sehingga langsung diciduk. Atau kalau pun berhasil meledakkan bom, sering korbannya hanyalah ia sendiri; mengingatkan kita pada kasus M Syarif di Masjid Kapoltabes Cirebon. Tindakan pengeboman di masjid dan rumah ibadah lain seperti gereja, jelas sangat kontra-produktif, amat merugikan diri dan kelompok mereka sendiri. Akhirnya, membuat mereka kian teralienasi dari arus utama kaum Muslim. Semua gejala ini sekaligus menunjukkan kenyataan lain bahwa panggilan 'jihad' bagi seluruh umat Islam yang dilakukan kelompok-kelompok teroris tidak pernah efektif; diabaikan sama sekali oleh kaum Muslimin umumnya. Dan, organisasi dan kelompok teroris itu dalam website dan penerbitannya hampir selalu menyesalkan dan mengecam kaum Muslimin yang tidak menghiraukan panggilan mereka. Mereka menganggap kaum Muslim umumnya masih terus 'tertidur'. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan, kaum Muslim umumnya cinta damai dan tidak tertarik pada kekerasan, apalagi terorisme. Kurzman juga menunjukkan kasus kaum Muslim Indonesia umumnya yang berbondong-bondong ikut dalam pemilu dan proses demokrasi lainnya sejak masa pasca-Soeharto. Mereka menerima dan melaksanakan demokrasi yang dalam pandangan mereka merupakan sistem politik lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain semacam daulah Islamiyah atau khilafah