Mencari Asal Usul Fenomena Hidup Sedang,Topik Utama Bagi Para Saintis
Bila para pembaca rajin menelusuri “jagad internet”, maka kini akan memberikan peluang sangat luas di dalam bidang ilmu pengetahuan dengan bentuk dan tujuan apa pun. Kita sebagai pengguna penemuan-penemuan tersebut bisa saja menjadi sangat bingung. Dari sekian banyak, boleh dikatakan berjumlah “multi juta” penemuan, harus dapat dipisahkan antara yang langsung dapat memberikan manfaat dan yang akan menjadi harapan besar di dalam memperbaiki mutu bentuk hidup yang sedang dilalui serta didambakan, atau sebaliknya. Kita terkena banyak hal yang tidak jujur atau kita telah terkena bohong.
Kedudukan kita sebagai manusia a w a m sudah tentu hanya mampu menerima saja apa yang sedang disuguhkan. Sebelum penulis sendiri menjelajahi jagad internet tadi, tak ada kesempatan bebas untuk itu. Fokus ditujukan khusus untuk bekerja, mencari nafkah serta menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi organisasi tempat bekerja. Dirasakan kebanyakan diantara kita akan demikian, sepertinya berada di dalam bentuk “Tong Setan”, campuran antara yang baik dan yang buruk, tanpa mampu melepaskan diri keluar dari tong tersebut.
Waktu pengembangan diri yang disesuaikan dengan kebutuhan bentuk organisasi yang sedang berkembang dan memerlukan sumbangan tenaga dan pikiran kita pada saat itu cukup memadani. Akan tetapi, dengan meledaknya jumlah penduduk dunia, kini hingga bilangan enam milyar lebih, para pembentuk organisasi menjadi kewalahan di dalam pengelolaanya. Demikian pula organisasi yang mengatur pemerintahan dihadapkan pada berbagai bentuk m a s a l a h yang kelihatanya makin hari makin bertambah banyak. Yang sedang dapat diselesiakan tidak dapat memadani deras timbulnya masalah lain tersebut.
Mampukah para pembaca mengikuti topik ini yang akan penulis bahas sampai akarnya? Memang kini penulis sudah bebas dari pertanggungan jawab yang menyangkut tingkatan pekerjaan, dimana pengalaman pengelolaan sudah menjadi sesuatu yang disebut masa lalu. Tingkatan pertanggungan jawab bagi penulis boleh dikatakan sangat luas. Dimulainya pada tingkatan seperti sekolah dasar, meningkat pada tingkatan menengah, lebih tinggi lagi dengan menengah atas dan berakhir pada tingkatan ‘universiter’, dususul dengan tingkatan tertinggi pada bidang organisasi dimana penulis menyumbangkan pikiran dan tenaganya.
Sejak lepas dari tuntunan orang tua, penulis didalam mencari pengalaman, heranya selalu berada pada tingkatan pembinaan sesama pada lingkungan kerjaan. Atasan tidak pernah merasa janggal menyerahkan pertanggungan jawab dari sesuatu yang diserahkan pada penulis. Dari bawahan penulis selalu mendapatkan pujian karena peningkatan taraf hidup mereka yang penulis perjoangkan kepada atasan. Memang disana-sini masih ada konflik dengan atasan yang tidak dapat mengerti gagasan-gagasan penulis membela bawahan bagi produktifitas perusahaan.
Namun demikian, setelah penulis tinggalkan dengan mengundurkan diri dari suatu perusahaan, maka terjadilah perubahan yang penulis gagaskan sebelumnya. Yang ditinggal merasa tidak nyaman bahwa yang memperjoangkan nasib, pada akhirnya tidak ikut merasakan keberhasilanya. Bagi penulis hal itu sudah menjadi lumrah yang juga dijadikan pedoman, bahwa didunia ini pada hakekatnya t i d a k ada rasa t e r i m a k a s i h yang sesungguhnya, artinya tanpa pamrih.
Mungkin skala bentuk serta didikan orang tua sudah meresap benar pada diri penulis. Hal ini ternyata menjadi pondasi kuat bagi penulis sewaktu bekerja di Luar Negeri sejak tahun ‘sembilan belas enam puluh tiga’. Pengalaman-pengalaman yang dialami sejak itu serta perasaan pertanggungan jawab yang besar, membawakan penulis dapat mengelola bawahan yang terdiri dari orang-orang multi nasional.
Suatu ketika ditawarkan oleh seorang teman lama dan dekat, untuk mengelola suatu proyek di Indonesia, dimana diperlukan banyak ahli-ahli orang asing didalam bidang komputerisasi. Mereka mendapatkan remunerasi setingkat luar negeri ditambah dengan kehadiran diluar tanah airnya. Tapi bagi penulis hal itu tidak berlaku karena sebagai orang Indonesia, meskipun merupakan seorang dengan status penduduk luar negeri. Penulis tolak gagasan itu dan kembali pada organisasi multi nasional dimana penulis sedang bekerja. Apa memang demikiankah pemerintah kita menghargai warganya yang sudah begitu banyak pengalaman diluar negeri pada tingkatan pengelola atasan?
Disini kita mendapatkan “phrase” yang menyatakan, bahwa bila suatu Negara tidak menghargai warganya sendiri tapi bertumpu pada orang-orang asing, Negara itu tidak akan pernah menjadi bangsa besar serta diakui oleh manca negara. Mungkin kini hal itu sudah berubah banyak dan mendapatkan perhatian sepadan. Seperti seseorang yang dinobatkan menjadi presiden pengganti dari yang kedua.
Bukankah beliau itu pada taraf setingkat dengan penuliis sewaktu berada diluar negeri? Beliau lebih muda sekali. Memang zamanya berbeda. Saat penulis diminta adalah pada tahun 1969, sedangkan yang akhir ini pada tahun 1996. Bedanya 27 tahun sudah. Kalau ya tidak pernah berubah, maka kita berhenti berkembang.
Menurut penyelidikan penulis selama lebih dari 50 tahun, dinegara manapun terjadi banyak salah pengelolaan. Hal ini terutama terjadi dikalangan pimpinan atas, yang terlalu memikirkan aspirasinya sendiri dan kurang mengarah kepada skala bentuk psikhologis dari bawahan yang mereka pimpin dan butuhkan. Memilih orang-orang yang t e p a t untuk suatu bidang pekerjaan, baik di dalam organisasi pemerintahan maupun swasta, sering kali mengalami kegagalan yang ditimbulkan oleh terjadinya banyak masalah pada bidang tersesbut.
Pimpinan atas ternyata tidak pernah peka mengatur intuisinya didalam melaksanakan pilihan yang t e p a t. Hal inilah yang kini sedang dijadikan riset yang akan berkepanjangan bila tidak diselipkan pendidikan mental yang bukan atas penilaian o b y e k t i f tapi yang sesungguhnya sudah waktunya dididik melalui sistim s u b y e k t i f.
Disinilah kekurangan telak terjadi dengan mengakibatkan adanya hambatan, karena terlalu di- a n a l i s a melalui banyak k a l k u l a s i serta m a n i p u l a s i perhitungan. Kini untuk persoalan itu telah banyak dilaksanakan uji coba. Sekalipun hasilnya menunjukan perubahan yang signifikan, tapi karena kebiasaan menganalisa yang didasarkan atas logika dan rasionalistis ternyata kurang mendapatkan effek yang memadani.
Kedudukan kita sebagai manusia a w a m sudah tentu hanya mampu menerima saja apa yang sedang disuguhkan. Sebelum penulis sendiri menjelajahi jagad internet tadi, tak ada kesempatan bebas untuk itu. Fokus ditujukan khusus untuk bekerja, mencari nafkah serta menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi organisasi tempat bekerja. Dirasakan kebanyakan diantara kita akan demikian, sepertinya berada di dalam bentuk “Tong Setan”, campuran antara yang baik dan yang buruk, tanpa mampu melepaskan diri keluar dari tong tersebut.
Waktu pengembangan diri yang disesuaikan dengan kebutuhan bentuk organisasi yang sedang berkembang dan memerlukan sumbangan tenaga dan pikiran kita pada saat itu cukup memadani. Akan tetapi, dengan meledaknya jumlah penduduk dunia, kini hingga bilangan enam milyar lebih, para pembentuk organisasi menjadi kewalahan di dalam pengelolaanya. Demikian pula organisasi yang mengatur pemerintahan dihadapkan pada berbagai bentuk m a s a l a h yang kelihatanya makin hari makin bertambah banyak. Yang sedang dapat diselesiakan tidak dapat memadani deras timbulnya masalah lain tersebut.
Mampukah para pembaca mengikuti topik ini yang akan penulis bahas sampai akarnya? Memang kini penulis sudah bebas dari pertanggungan jawab yang menyangkut tingkatan pekerjaan, dimana pengalaman pengelolaan sudah menjadi sesuatu yang disebut masa lalu. Tingkatan pertanggungan jawab bagi penulis boleh dikatakan sangat luas. Dimulainya pada tingkatan seperti sekolah dasar, meningkat pada tingkatan menengah, lebih tinggi lagi dengan menengah atas dan berakhir pada tingkatan ‘universiter’, dususul dengan tingkatan tertinggi pada bidang organisasi dimana penulis menyumbangkan pikiran dan tenaganya.
Sejak lepas dari tuntunan orang tua, penulis didalam mencari pengalaman, heranya selalu berada pada tingkatan pembinaan sesama pada lingkungan kerjaan. Atasan tidak pernah merasa janggal menyerahkan pertanggungan jawab dari sesuatu yang diserahkan pada penulis. Dari bawahan penulis selalu mendapatkan pujian karena peningkatan taraf hidup mereka yang penulis perjoangkan kepada atasan. Memang disana-sini masih ada konflik dengan atasan yang tidak dapat mengerti gagasan-gagasan penulis membela bawahan bagi produktifitas perusahaan.
Namun demikian, setelah penulis tinggalkan dengan mengundurkan diri dari suatu perusahaan, maka terjadilah perubahan yang penulis gagaskan sebelumnya. Yang ditinggal merasa tidak nyaman bahwa yang memperjoangkan nasib, pada akhirnya tidak ikut merasakan keberhasilanya. Bagi penulis hal itu sudah menjadi lumrah yang juga dijadikan pedoman, bahwa didunia ini pada hakekatnya t i d a k ada rasa t e r i m a k a s i h yang sesungguhnya, artinya tanpa pamrih.
Mungkin skala bentuk serta didikan orang tua sudah meresap benar pada diri penulis. Hal ini ternyata menjadi pondasi kuat bagi penulis sewaktu bekerja di Luar Negeri sejak tahun ‘sembilan belas enam puluh tiga’. Pengalaman-pengalaman yang dialami sejak itu serta perasaan pertanggungan jawab yang besar, membawakan penulis dapat mengelola bawahan yang terdiri dari orang-orang multi nasional.
Suatu ketika ditawarkan oleh seorang teman lama dan dekat, untuk mengelola suatu proyek di Indonesia, dimana diperlukan banyak ahli-ahli orang asing didalam bidang komputerisasi. Mereka mendapatkan remunerasi setingkat luar negeri ditambah dengan kehadiran diluar tanah airnya. Tapi bagi penulis hal itu tidak berlaku karena sebagai orang Indonesia, meskipun merupakan seorang dengan status penduduk luar negeri. Penulis tolak gagasan itu dan kembali pada organisasi multi nasional dimana penulis sedang bekerja. Apa memang demikiankah pemerintah kita menghargai warganya yang sudah begitu banyak pengalaman diluar negeri pada tingkatan pengelola atasan?
Disini kita mendapatkan “phrase” yang menyatakan, bahwa bila suatu Negara tidak menghargai warganya sendiri tapi bertumpu pada orang-orang asing, Negara itu tidak akan pernah menjadi bangsa besar serta diakui oleh manca negara. Mungkin kini hal itu sudah berubah banyak dan mendapatkan perhatian sepadan. Seperti seseorang yang dinobatkan menjadi presiden pengganti dari yang kedua.
Bukankah beliau itu pada taraf setingkat dengan penuliis sewaktu berada diluar negeri? Beliau lebih muda sekali. Memang zamanya berbeda. Saat penulis diminta adalah pada tahun 1969, sedangkan yang akhir ini pada tahun 1996. Bedanya 27 tahun sudah. Kalau ya tidak pernah berubah, maka kita berhenti berkembang.
Menurut penyelidikan penulis selama lebih dari 50 tahun, dinegara manapun terjadi banyak salah pengelolaan. Hal ini terutama terjadi dikalangan pimpinan atas, yang terlalu memikirkan aspirasinya sendiri dan kurang mengarah kepada skala bentuk psikhologis dari bawahan yang mereka pimpin dan butuhkan. Memilih orang-orang yang t e p a t untuk suatu bidang pekerjaan, baik di dalam organisasi pemerintahan maupun swasta, sering kali mengalami kegagalan yang ditimbulkan oleh terjadinya banyak masalah pada bidang tersesbut.
Pimpinan atas ternyata tidak pernah peka mengatur intuisinya didalam melaksanakan pilihan yang t e p a t. Hal inilah yang kini sedang dijadikan riset yang akan berkepanjangan bila tidak diselipkan pendidikan mental yang bukan atas penilaian o b y e k t i f tapi yang sesungguhnya sudah waktunya dididik melalui sistim s u b y e k t i f.
Disinilah kekurangan telak terjadi dengan mengakibatkan adanya hambatan, karena terlalu di- a n a l i s a melalui banyak k a l k u l a s i serta m a n i p u l a s i perhitungan. Kini untuk persoalan itu telah banyak dilaksanakan uji coba. Sekalipun hasilnya menunjukan perubahan yang signifikan, tapi karena kebiasaan menganalisa yang didasarkan atas logika dan rasionalistis ternyata kurang mendapatkan effek yang memadani.